Home

Sabtu, 05 Februari 2011

Masiyem

Pagi ini aku mengantarmu menuntut hasil jerih payah masa lalu. Rintik hujan liar menyusur keriput wajahmu, kendati tak sanggup membendung langkahmu yang sama rintiknya.
Kusisip berkasmu di keranjang antrian bersama selembar harapan, semoga kau cepat mendapat giliran. Di ruangan berukuran sepuluh kali sepuluh meter persegi itu kita menunggu, sambil memandang lewat jendela, jeruji gerimis yang percuma--tak berhasil memenjarakan apa-apa.
You have no comments to approve.
Di duniamu ini diam-diam aku merasa hangat, udaranya penuh sapa akrab dan mata yang memandang lekat-lekat. Orang-orang bicara begitu dekat, entah karena kekariban atau karena pendengaran yang perlahan mulai meninggalkan mereka.
Kucari-cari namamu di belantara suara jeritan-jeritan printer tua, desis tuts keyboard, dan amplop-amplop surat lamaran kerja yang direkat paksa. Poster-poster bisu bersuara dengan cara yang berbeda, lewat tulisan yang besar-besar atau warna-warna yang menarik perhatian, seolah sibuk berpentas di panggung yang dibuatnya sendiri. Sesekali terdengar raungan ponsel di tangan seorang pria tua yang mata dan ibu jarinya asyik menerka-nerka, dimana letak tombol penjawab kira-kira.
Dari kursi sebelah aku mengamatimu, sambil menikmati ketakutan-ketakutanku sendiri akan kecantikan dan keremajaanku yang pelan-pelan sedang dicuri waktu. Bersama kita ada belasan orang lagi yang sama denganmu, sama-sama telah dikikis masa, dan sama-sama menunggui pemenuhan angan-angan sebentar lagi. Berjuta rencana kubaca di mata mereka, mungkin mobil-mobilan baru untuk cucu kesayangan atau penebusan obat-obatan. Di matamu sendiri tertulis sebuah rencana “tersenyum riang setelah menraktir cicitku secangkir secang”.
secang = minuman rempah tradisional khas jawa tengah
Note : catatan ini adalah tentang nenek buyutku yang tadi pagi kuantar mengambil uang pensiunan :D

Rabu, 02 Februari 2011

Pagi di sebuah bingkai jendela


ada matahari yang terbit malas-malasan, udara dingin sisa hujan semalam, dua tetes embun yang berguling mesra di rerumputan, dan kita yang bertingkah persis seperti embun.

Jakarta



waktu aku kembali ke kotamu, ada ingatan yang
ramai melambaikan tangan
mencoba memberi semarak pada
senjaku yang temaram


gerimis memetiknya dari lampu jalan
membiarkannya terseok di badan aspal


lalu malam menguburnya pelan-pelan di trotoar


seketika itu ada pedih yang disayatkan ke dadaku
tanpa suara