Home

Sabtu, 26 Maret 2011

Couple Poems : Tigapuluh Derajat

/1/ Di Tigapuluh Derajat Sudut Waktu Itu (by Ary Dharmayanti)

Jarum panjang kira-kira perlu bergerak tigapuluh derajat lagi sejak pukul delapanbelas tigapuluh. Sudut itu nampaknya pejal seperti batu. Jarum jam sedang tak ingin berputar terburu-buru. Dia lebih suka berbelok, mengolok, dan memutar-mutar kepalaku di ruang tunggu, memindah-mindah mataku dari jarum jam ke telepon selulerku. Kubunuh derajatnya satu demi satu, dengan menghitung berapa kira-kira sudut tinggal landas pesawatmu. Mungkinkah tigapuluh derajat? 

Kubentuk sudut tigapuluh derajat antara bibirku dengan sedotan es tehku yang sekarang jadi tanpa es batu. Lebur oleh putaran gelisahku yang jauh lebih pesat daripada waktu.

Suaramu memutar tubuhku tigapuluh derajat. Dan kutemukan tigapuluh derajat jarum jam telah berpindah ke lengkung senyummu yang mistis, di atas sebuah janggut tipis.

Aku ingin berlari memeluk tubuhmu dan menangis. Membentuk sudut tigapuluh derajat lain dengan kepalaku mendongak memandang wajahmu.

Tapi nyatanya kuhanya tersenyum manis. 
“Selamat datang, sayang.”

Akan ada lebih dari sekedar tigapuluh derajat waktuku untukmu.

Yogyakarta, 23 Maret 2011


/2/ Tigapuluh Derajat Kita (by Halim Gani Safia)

Perih adalah tigapuluh derajat bengkokan kepala yang tersandar di lenganku, ketika ego terpilin-pilin hingga menggariskan ranah lengkung yang ekuivalen lalu mengabur bak lensa terhilang fokus. Tigapuluh derajat itu kutinggalkan, mengusang serupa kisah padam. Mohonku pada Tuhan, cegah ia bereinkarnasi.

Kemudian tigapuluh derajatmu datang menghambur pada mataku bagai serbuk nirwana, menetaskan telur kemukus bintang di langit malam Jakarta - embrio alpha omega - ditingkahi fortessimo piano - jemari yang mengeram, menggenggami awan jingga bilamana kutata gua.

Tigapuluh derajatmu itu setengah hasta menuju nuansa tak berkasta, ia berlumbung-lumbung, yang disetiapnya ada tari padendang, beralu-alu bak buluh perindu, hendaki menyatu.

Tigapuluh derajat kita serupa kemiringan kerusi ruh, dibibiti rindu, kelak kan beranakpinak dan melahirkan bayi penyair berbibir madu.

Jakarta, 23 Maret 2011

Kunang-Kunang di Gelinang Mataku

: fireflies prince

Kunang-kunang dari matamu itu suka terbang di atas kolam tempat aku sering duduk di tepinya. Kadang-kadang berenang ke dasar kolam. Sesekali juga menyelam di gelinang mataku dan bertelur di sana. Hanya beberapa detik saja, telur kunang-kunang itu pun menetas menghasilkan bermacam rupa. Ada kesepian yang senang menari berputar-putar di kepala. Ada juga rindu berwujud berudu yang saat menggeliat selalu mencambuk-cambuk kelopak mataku dengan ekor panjangnya. Aku menangis berkali-kali. Mereka pun menggelepar keluar bersama air mataku. Kutangkap seekor dan kutelan kembali ke perutku. Kupelihara beberapa waktu sampai ia berubah menjadi katak, melompat lewat kerongkonganku dan menjelma sebuah puisi tentang lindap matamu.